Menampilkan 16 Karya Terbaik, Tiga Warga Konga, Flores Timur, Tampil Di Festival Pasca Penciptaan ISI
REINHA.com – Tiga warga Konga, Kecamata Titehena, Kabupaten Flores Timur diundang untuk berkolaborasi dengan seniman peraih Gold Prize (2010) Dr. Darmawan Dadijono M.Sn di Festival Pasca Penciptaan, An Artistic Innovaton Sanctuary Insititut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, 7-9 September 2025.
Ketiga warga Flores Timur yang diundang dalam Festival Pasca Penciptaan adalah Ibu Maria Eda Buan (71 Tahun), Nikolaus Noweng Mare dan M. Juang Lewar.
Sejak umur 16 tahun Ibu Maria Eda menyanyikan Ovos saat prosesi Jumat Agung di Konga. Ia sudah pensiun dari tugas itu sekian tahun. Namun bagi Dr. Darmawan Dadijono, Maria Eda menyimpan kekayaan pengalaman atas tugas yang diembannya selama bertahun-tahun, oleh karena itu seniman peraih Gold Prize (2010) atas partisipasinya di Andong Maskdance Festival Korea tersebut nekad mengundang Ibu Maria Eda Buan, Nikolaus Noweng Mare dan M. Juang Lewar untuk berkolaborasi dalam sebuah karya tari berjudul “OVOS”.
Festival Pasca Penciptaan
Gagasan utama Festival Pasca Penciptaan 2025 adalah membaca tubuh nusantara sebagai arsip hidup. Dimana Festival ini menjadi ruang apresiasi, refleksi, dan diseminasi, bagi karya-karya unggulan mahasiswa Program Magister dan Doktoral Pascasarjana ISI Surakarta, ISI Bali, dan ISI Yogyakarta.
Festival menampilkan 16 karya terbaik lintas disiplin, mulai dari seni pertunjukan (tari, teater, musik), seni rupa, fotografi, seni media, film, hingga fashion. Festival ini juga menegaskan bahwa seni bukan hanya ekspresi estetis, melainkan juga pengetahuan yang lahir dari pengalaman tubuh, pikiran, dan imajinasi.
Nyanyian Ovos Sebagai Arsip Hidup
Dr. Darmawan Dadijono melihat nyanyian Maria Buan sebagai arsip hidup. Menyimpan jejak, sejarah, luka, ingatan, doa dan harapan selama pengabdiannya sebagai pelantun ovos, ratapan saat prosesi Jumat Agung di kampung halamannya. Suara yang menyimpan kekayaan batin menginspirasi dirinya menerjemahkan dan menghidupaknnya dalam tarian.
“Inspirasi karya ini lahir dari pengalaman riset di Konga Flores Timur dimana kesakralan dan kesunyian spiritual menjadi titik temu antara tubuh, bunyi dan rasa. Ovos adalah ekspresi tubuh atas penderitaan, harapan dan iman. Sebuah perenungan lewat gerak yang lahir dari ruang sunyi antara manusia dan penciptanya”, jelas Dr. Darmawan Dadijono.
Ketua Panitia Festival Eko Supriyanto menegaskan bahwa di dalam seni, tubuh bukan saja medium ekspresi melainkan juga alat perlawanan, sumber pengetahuan kolektif dan pengalaman publik. Koreografer yang pernah menjadi penata tari 268 konsernya penyanyi Madonna, penata tari Miss World (2013) dan Asian Games (2018) dalam sambutannya menyebut pula tubuh Larantuka. Melalui karya kolaborasi Ovos, tubuh Konga (Larantuka) hadir sebagai salah satu arsip tubuh nusantara menuju ruang global pengetahuan.
Aktifitas Sebagai Pengetahuan Yang Merekam Sejarah
Maria Eda Buan, Nikolaus dan Juang Lewar kaget atas undangan ini. Namun mereka bersyukur bisa membagikan apa yang dilakukan selama ini kepada khalayak luas. Bahwa Konga memiliki tradisi kerohanian yang perlu diketahui dan dibagikan kepada banyak orang.
“Kami orang-orang sederhana, tapi kesederhanaan kami dilihat sebagai sesuatu yang sangat bernilai adalah pengalaman berharga. Kesetiaan dan ketulusan kami bisa dihargai sampai sejauh ini”, ungkap M. Juang Lewar.
Silvester Petara Hurit, seniman yang konsen memperkenalkan khazanah kebudayaan Flores Timur yang diundang sebagai dramaturg dalam karya kolaborasi ini menjelaskan bahwa masyarakat Indonesia, khususnya Flores Timur memiliki banyak aktivitas yang sekilas tampak biasa-biasa, dikerjakan oleh orang-orang sederhana, sesungguhnya sangat bernilai. Menyimpan pengetahuan. Merekam sejarah intelektual, kerohanian dan keindahan di dalamnya. Tinggal keberanian kita mengangkat dan memberi tempat yang memadai.
“Kita lama dijajah. Akibatnya jadi inferior. Merasa bahwa yang hebat, yang luar biasa itu berhubungan dengan dunia barat, orang bule dan semacamnya. Padahal mereka itu jauh-jauh datang menggali dan mempelajari apa yang kita punyai sambil membawa dan memperkenalkan kebudayaannya. Orang-orang Eropa di masa lalu yang datang kesini menulis buku, mengambil foto, membuat sketsa, film, meneliti musik, nyanyian dll telah melihat itu semua sebagai sumber pengetahuan. Celakanya kita sendiri bahkan sampai saat ini masih melihatnya sebagai barang lapuk yang hilang begitu saja tanpa pengarsipan, pendokumentasian dan pembacaan (riset)”, kata Silviester. ***(JMW)
# Menampilkan 16 Karya Terbaik, Tiga Warga Konga, Flores Timur, Tampil Di Festival Pasca Penciptaan ISI
Lifestyle
News
Berita
News Flash
Blog
Technology
Sports
Sport
Football
Tips
Finance
Berita Terkini
Berita Terbaru
Berita Kekinian
News
Berita Terkini
Olahraga
Pasang Internet Myrepublic
Jasa Import China
Jasa Import Door to Door
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.